Islamist Contortions

From Iaprojects

Original Article: English

Title: Islamist Contortions: Why are Indonesian clerics bent out of shape over yoga? by Sadanand Dhume

Source: http://online.wsj.com/article/SB123315945310924601.html?mod=djemITPA

For those who wonder what problems corruption-ridden and disaster-plagued Indonesia must tackle most urgently, the Indonesian Council of Ulema has the answer: yoga.

On Monday, the Council, a quasi-official grouping of 700 Islamic clerics, decreed that Muslims should shun the ancient Indian practice. The clerics worry that Hindu-influenced chants and invocations might weaken Muslim believers' faith. The decree, though not legally binding, carries the force of moral authority, and, as is not uncommon in the Muslim world, the unspoken threat of enforcement by vigilantes.

The Council's decision was not entirely unprecedented. Malaysia's National Fatwa Council issued a similar ban last November. Nonetheless, it comes as a reminder of the challenges the world's most populous Muslim-majority country faces as it struggles to nurture a fledgling democracy in the face of the increasingly undemocratic demands of fundamentalist Islam.

To be sure, Indonesia is no Saudi Arabia. The majority of the country's Muslims -- 88% of its 235 million people -- practice a gentle folk Islam infused with elements of the archipelago's long Animist-Hindu-Buddhist past. The country's constitution is nonsectarian. Overt legal discrimination against non-Muslims, the cornerstone of government policy in neighboring Malaysia, is rare. Most people live in harmony.

But in recent years, Indonesian fundamentalists -- including hardline clerics, politicians from the Prosperous Justice Party and vigilante groups such as the Islamic Defenders Front -- have grown increasingly assertive. These groups don't always agree with each other on tactics, but have broadly similar worldviews. They have spearheaded the persecution of the minority Ahmadiyya Muslim community, the passage of a so-called antipornography bill that encourages vigilantism and discriminates against non-Muslim cultures, and a regulation that forces Christian schools to offer religious instruction on Islam.

Put bluntly, Islamic fundamentalism puts a crimp on Indonesia's otherwise impressive democratic flowering. It's at odds with individual rights, freedom of conscience and freedom of expression. In a mature democracy, you wouldn't find a government body called the Coordinating Board for Monitoring Mystical Beliefs in Society outside the pages of a novel. In Indonesia, it helps the government determine which groups are labeled "heretical" or "deviant."

After two successful national elections since the end of Suharto's 32-year-reign in 1998 -- and with another due this year -- Indonesians are justifiably proud of having mastered the processes of democracy. But the gains may be chimerical unless they can defend their ability to publicly scrutinize, criticize -- and, if necessary, mock -- bad ideas that come from Islam as readily as those drawn from a political manifesto.

Since the 1970s, Indonesian Islam has been stripped of its legendary tolerance toward other faiths by a combination of rapid urbanization, compulsory religious education in government schools, and the efforts of Middle Eastern and homegrown purifiers of the faith. In recent years, this Arabization of Indonesian Islam has gathered pace as globalization has brought the religious and political discourse (often indistinguishable from each other) of Riyadh and Tehran to Jakarta. Reminded daily that they are recipients of God's final revelation, a large minority of Muslims -- perhaps between 10% and 15% -- embrace the fundamentalist notion that the cause of their backwardness lies not in a failure to embrace modernity but in a failure to fully embrace their faith. Many more, while not full-blown fundamentalists themselves, are broadly sympathetic to these ideas.

Indonesia's fundamentalists have shown themselves to be better motivated and better organized than their opponents. Weak or sympathetic politicians (including President Susilo Bambang Yudhoyono), courts and police allow them to use violence or the threat of violence to control the public square -- by driving Playboy magazine out of Jakarta, or by attacking secular nationalists at a high-profile rally for religious freedom. Meanwhile cultural norms put any public criticism of Islam out of bounds. Hardliners can be chided for distorting the faith, but an unspoken code of self-censorship ensures that no one ever questions the faith itself. The kind of robust debate between believers and unbelievers that marks most democracies is notable for its absence in Indonesia.

To put this in perspective, consider that Indians are free to debate the caste-centered and sexist aspects of Hindu scripture. The Spaniard who believes in contraception and gay rights can flatly declare that he doesn't care what the Bible says or what the Pope thinks. But an Indonesian who publicly expresses similar sentiments about the Quran or the prophet Muhammad immediately invites threats of violence.

This constrained national discourse cedes fundamentalists the moral high ground, a crucial advantage in this battle of ideas. Unless Indonesians can find a way to broaden the debate, to allow purely secular and even antireligious arguments to set up stall in the public square, they should not be surprised to find themselves in a land where clerics set the agenda, both in yoga class and outside it.

Mr. Dhume is a Washington-based writer and the author of "My Friend the Fanatic: Travels With a Radical Islamist" (Skyhorse Publishing, May 2009).

Terjemahan: Bahasa Indonesia

Judul: Pemutarbalikan oleh penganut Islam: Mengapa para ulama Indonesia merecoki yoga? oleh Sadanand Dhume

Diterjemahkan dari: http://online.wsj.com/article/SB123315945310924601.html?mod=djemITPA

Bagi mereka yang penasaran masalah-masalah penanganan-korupsi dan wabah-bencana-alam apa yang harus dengan segeranya ditangani oleh Indonesia, Dewan Ulama Indonesia punya jawabannya: yoga.

Pada hari Senin, Dewan itu, kelompok setengah-resmi yang beranggotakan 700 ulama, memutuskan bahwa umat Muslim sebaiknya menjauhi praktek kuno India tersebut. Para ulama khawatir bahwa mantra-mantra dan doa-doa berbau-Hindu dapat melemahkan keyakinan para Muslim. Keputusan itu, meskipun tidak secara resmi mengikat, membawa paksaan atas otoritas moral, dan, seperti bukannya tidak biasa dalam dunia Muslim, ancaman tak terucap oleh para preman atas pelaksanaannya.

Keputusan Dewan bukannya belum pernah terjadi sebelumnya. Dewan Fatwa Nasional Malaysia mengeluarkan larangan serupa pada bulan November lalu. Walaupun demikian, larangan tersebut menjadi sebuah pengingat akan tantangan-tantangan yang dihadapi negara berpopulasi Muslim terbanyak di dunia dimana negara itu berjuang untuk memelihara demokrasi yang utuh menghadapi meningkatnya tuntutan-tuntutan tidak demokratis dari para penganut Islam fundamentalis.

Pastinya, Indonesia bukanlah Arab Saudi. Mayoritas Muslim negara itu --88% dari 235 juta penduduknya -- menganut Islam tradisional yang lembut yang dipengaruhi oleh elemen-elemen masa lalu Animisme-Hindu-Budha yang berlangsung lama di nusantara ini. Konstitusi negara ini adalah nonsectarian (tidak mengikuti suatu aliran agama). Munculnya diskriminasi legal terhadap non-Muslim, batu landasan kebijakan pemerintah yang bertetangga dengan Malaysia ini, hampir tidak ada. Sebagian besar masyarakat hidup dengan harmonis.

Namun dalam tahun-tahun belakangan ini, para fundamentalis Indonesia -- termasuk para ulama garis keras, para politisi dari Partai Keadilan Sejahtera dan kelompok-kelompok preman seperti Front Pembela Islam -- telah tumbuh berkembang dengan pesat. Kelompok-kelompok ini tidak selalu setuju satu sama lain dalam berbagai taktik, namun secara garis besar memiliki sudut pandang yang serupa. Mereka telah mempelopori pengejaran komunitas minoritas Muslim Ahmadiyya, bagian dari apa yang disebut sebagai undang-undang antipornografi yang mendorong tindakan main hakim sendiri dan pendiskriminasian terhadap budaya-budaya non-muslim, dan sebuah regulasi yang memaksa sekolah-sekolah Kristen untuk menawarkan pelajaran religius Islam.

Terus terang, fundamentalisme Islam menciptakan kerutan dalam perkembangan demokrasi Indonesia yang jika tidak akan mengagumkan. Juga bertentangan dangan hak asasi manusia, kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi. Dalam demokrasi yang lebih matang, Anda tidak akan menemukan sebuah badan pemerintah yang bernama Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat pada sampul muka sebuah novel. Di Indonesia, badan tersebut membantu pemerintah membedakan kelompok-kelompok mana yang dilabeli “bidaah” atau “menyimpang.”

Setelah dua pemilihan umum yang sukses sejak berakhirnya 32-tahun-pemerintahan Suharto pada tahun 1998 -- dan dengan pemilihan umum lainnya pada tahun ini -- Orang-orang Indonesia berhak bangga telah menguasai proses demokrasi. Namun perolehan ini dapat menjadi imajinatif kecuali mereka dapat mempertahankan kemampuan mereka dalam meneliti, mengkritik -- dan jika perlu, mengejek -- secara umum, gagasan-gagasan buruk yang datang dari Islam semudah yang ditarik dari sebuah manifesto politik.

Sejak tahun 1970an, Islam Indonesia telah dikenal dengan toleransinya yang melegenda terhadap kepercayaan-kepercayaan lainnya dengan sebuah kombinasi urbanisasi yang cepat, pendidikan agama yang diwajibkan dalam sekolah-sekolah pemerintah, dan upaya-upaya Timur Tengah serta pemurnian akan keyakinan. Dalam tahun-tahun belakangan ini, Arabisasi atas Islam Indonesia ini telah menghimpun langkah sejalan dengan globalisasi yang telah membawa khotbah religius dan politik (seringkali tidak dapat dibedakan antara keduanya) Riyadh dan Tehran ke Jakarta. Diingatkan setiap hari bahwa mereka adalah penerima wahyu penentuan dari Tuhan, sejumlah besar Muslim minoritas -- mungkin antara 10% dan 15% -- menganut anggapan fundamentalis bahwa penyebab keterbelakangan mereka bukan terletak pada kegagalan merangkul modernitas namun kegagalan akan sepenuhnya memenuhi keyakinan mereka. Lebih banyak lagi, yang bukan sepenuhnya fundamentalis sendiri, secara garis besar bersimpati atas pemikiran-pemikiran ini. Para fundamentalis Indonesia telah membuktikan diri lebih termotivasi dan terorganisir dibandingkan dengan para lawannya. Para politisi yang lemah atau simpatik (termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), pengadilan dan polisi membolehkan mereka menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mengendalikan batasan publik -- dengan menghilangkan majalah Playboy dari Jakarta, atau dengan menyerang para nasionalis sekular pada rapat umum tinggi karena kebebasan agama. Sementara itu norma-norma kebudayaan menjadikan kritik publik apapun terhadap Islam, diluar jangkauan. Para garis keras dapat dicacimaki karena membelokkan keyakinan, namun sebuah kode tidak terucap akan sensor-diri memastikan bahwa tidak seorangpun akan pernah mempertanyakan keyakinan itu sendiri. Jenis debat sehat antara mereka yang beragama dan yang tidak, yang menandakan demokrasi tertinggi, tercatat ketiadaannya di Indonesia.

Dilihat dari perspektif, pertimbangkan bahwa orang-orang India bebas untuk mendebat pengkastaan dan aspek-aspek gender dalam kitab Hindu. Orang-orang Spanyol yang percaya akan kontrasepsi dan hak-hak kaum gay, dapat dengan datar mengatakan bahwa ia tidak perduli apa yang tertulis dalam Alkitab atau apa yang dipikirkan Paus. Namun seorang Indonesia yang secara umum mengekspresikan sentimen serupa mengenai Quran atau ramalan Muhammad seketika mengundang ancaman akan kekerasan. Ceramah nasional terbatas memberikan moral tinggi bagi para fundamentalis, sebuah keuntungan krusial dalam perang gagasan ini. Kecuali jika para warganegara Indonesia dapat menemukan sebuah cara untuk meluaskan debat itu, untuk membolehkan sekular murni dan bahkan pendapat-pendapat antireligius berdiri dalam komunitas publik, mereka seharusnya tidak terkejut menemukan diri dalam sebuah tanah dimana para pendeta menentukan peraturan, baik didalam maupun diluar kelas yoga.

Mr.Dhume adalah seorang penulis yang tinggal di Washington dan penulis buku "My Friend the Fanatic: Travels With a Radical Islamist" (“Temanku si Fanatik: Perjalanan Dengan Seorang Islam Radikal” (Skyhorse Publishing, May 2009).


Catatan Tambahan (dari penerjemahan)

  • tulis keterangan tambahan di sini
Personal tools